Alergi makanan kini makin sering diderita anak-anak. Sebuah studi berskala besar yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 38.000 anak menunjukkan, sekitar 8 persen anak berusia kurang dari 18 tahun menderita sedikitnya satu jenis alergi makanan.
Alergi susu menempati urutan kedua setelah alergi kacang. Fenomena yang sama juga terlihat di Indonesia.
Menurut data The Jakarta Allergy and Clinical Immunology Congress tahun 2011, telah terjadi kenaikan prevalensi anak yang alergi susu sapi sebesar 3 persen untuk bayi dan 6 persen untuk anak usia kurang dari 3 tahun.
Penyebab alergi sendiri masih misterius. Beberapa penelitian menunjukkan, alergi susu sapi paling sering ditemui pada anak berusia di bawah 3 tahun. Hal ini diduga terkait dengan kematangan sistem pencernaan saluran anak.
Alergi susu biasanya terjadi saat sistem imun bayi menyadari (atau menganggap) bahwa kandungan protein pada susu sapi sebagai zat yang berbahaya. Sistem kekebalan tubuh bayi akan melawan protein yang terdapat dalam susu sapi sehingga gejala-gejala reaksi alergi pun akan muncul.
Menurut Prof Sofyan Ismael, Guru Besar Kedokteran Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, alergi pada anak disebabkan karena faktor genetik serta faktor lingkungan. "Faktor utama adalah genetik, jika kedua orangtua alergi risiko, anak menderita alergi sampai 75 persen," katanya.
Sementara itu, faktor lingkungan meliputi paparan terhadap tungau debu rumah, polusi, atau pemberian makanan sebelum bayi berusia 6 bulan. Alergi bisa dicegah dengan menghindari pencetusnya.
"Pemberian ASI sampai bayi berusia 6 bulan telah terbukti akan mengurangi risiko alergi," katanya ketika ditemui di sela peresmian pusat riset dan pengembangan Sari Husada di Yogyakarta, Senin (18/7/2011).
Gejala alergi susu sapi pada dasarnya tidak berbeda dengan alergi lain, yakni gangguan saluran cerna mulai dari muntah, diare, atau sembelit. Gejala lain adalah bintik-bintik merah dan gatal di kulit, serta napas sesak dan batuk berulang.
Penanganan dasar dan efektif alergi protein susu sapi adalah menghindari protein susu sapi atau produk turunannya. Untuk itu, perlu makanan pengganti mengandung protein, tetap memenuhi kebutuhan nutrisi anak, tetapi tidak menimbulkan reaksi alergi. Salah satunya adalah memberi protein susu sapi yang dihidrolisis secara penuh.
Kendati demikian, menurut Sofyan, susu yang dihidrolisis tersebut harganya relatif mahal. Alternatif lain adalah pemberian susu berbasis nabati seperti susu kedelai yang sudah difortifikasi sehingga memenuhi kebutuhan nutrisi untuk tumbuh kembang anak.
"Susu soya khusus untuk anak memiliki gizi yang tidak kalah dengan susu sapi karena setiap susu anak yang beredar harus memenuhi gizi sesuai aturan CODEX," katanya.
Sofyan menambahkan, alergi susu sapi biasanya akan hilang seiring dengan pertambahan usia anak. Orangtua secara bertahap bisa mulai memperkenalkan makanan yang berbahan susu pada anak.
"Jangan terlalu lama menunggu, paling tidak di usia dua tahun anak sudah bebas dari alergi susu sapi. Proses pengenalan pada alergen atau desensitasi ini bisa dimulai ketika anak mulai mengonsumsi makanan pendamping ASI," imbuhnya.
No comments:
Post a Comment