Kebanyakan penderita sakit kepala mengklaim perubahan cuaca bisa memicu terjadinya sakit kepala sebelah atau sering disebut migrain. Banyak yang menyalahkan petir, hujan, dan peningkatan cuaca secara tiba-tiba sebagai pemicu kambuhnya migrain.
Lantas, apakah benar perubahan cuaca mendadak bisa menyebabkan migrain? Para ahli dari University Clinic for Neurolog, Vienna, menyimpulkan, penyebab utama terjadinya migrain bukanlah dari akibat perubahan cuaca, seperti hujan, peningkatan atmosfer, dan angin.
Penelitian ini didasarkan pada studi kombinasi yang dilakukan oleh para ahli dari Vienna Central Agency for Meteorology and Geodynamics, yang melibatkan 238 sukarelawan di Austria yang merupakan penderita migrain. Relawan diminta mengisi buku harian (diary) dan menuliskan setiap perubahan kondisi mereka ketika mendapatkan migrain terkait dengan perubahan cuaca.
Hasilnya, pengaruh perubahan cuaca rupanya tidak lebih besar ketimbang faktor-faktor lainnya, seperti stres, menstruasi, dan aspek genetik seseorang. Menurut peneliti, menstruasi, aspek genetik, dan stres berkepanjangan lebih berpengaruh meningkatkan risiko seseorang menderita migrain.
Hasil ini tentu sangat bertentangan dengan penelitian yang pernah dilakukan beberapa dokter di AS, dengan melibatkan 7.000 pasien. Peneliti menemukan bahwa suhu ruangan yang lebih tinggi dapat meningkatkan risiko sakit kepala. Bahkan, untuk setiap kenaikan suhu lima derajat celcius, ada 7,5 persen peningkatan risiko bagi seseorang untuk mendapatkan sakit kepala parah.
Para dokter juga menemukan, hampir sebagian besar penderita migrain berpikir bisa memprediksi bahwa jenis faktor cuaca dapat melemahkan mereka yang berujung pada sakit kepala yang parah. Namun dalam banyak kasus, mereka salah.
Sementara itu, American Headache Society dalam sebuah penelitian menunjukkan, pasien sangat sensitif terhadap cuaca, seperti perubahan suhu, kelembaban, dan tekanan udara.
No comments:
Post a Comment