Berpikir itu sesungguhnya berbicara kepada diri sendiri dalam batin. Jadi, manusia selalu berbicara kepada dan atau dengan dirinya sendiri. Bagaimana bila sering bicara kepada diri sendiri dengan suara keras?
Surat dari D (20), seorang perempuan. ”Sejak semester awal sampai sekarang (empat), ada beberapa keganjilan yang sering saya alami, salah satunya berbicara sendiri dan ”mengigau”. Kebiasaan berbicara sendiri sering sekali dilakukan dan saya selalu mempraktikkan apa yang ada di pikiran secara langsung (tindakan). Dan itu membuat beberapa teman takut melihat apa yang saya lakukan. Padahal, saya sudah berusaha untuk mengurangi kebiasaan buruk tersebut, tetapi tetap saja sulit untuk tidak melakukannya.
Akhirnya saya membaca referensi mengenai keadaan psikologis saya, di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang sering mengalami akonsius (kebiasaan berbicara sendiri), lama-kelamaan bisa menjadi gila. Apakah benar pernyataan tersebut dan bagaimana cara saya agar bisa mengurangi kebiasaan buruk saya?”
Refleksi emosi
Sebenarnya selama otak masih aktif bekerja, kita selalu berbicara dengan diri sendiri, umumnya dalam batin, tidak disuarakan. Ketika kita menimbang pilihan, menenangkan diri waktu terkejut atau marah, atau berdoa, kita berbicara dengan diri sendiri.
Sesekali kita berbicara bersuara, ketika menghayati kondisi emosi intens, misalnya saat tiba-tiba menemukan solusi yang ditunggu-tunggu, saat marah. Saat teringat seseorang yang sangat dirindukan, mungkin kita ingin merealisasikan harapan akan kebersamaan dengan membayangkan ia ada dan mengajaknya berbicara. Saat intens berpikir kita kadang bicara bersuara, dan mungkin jadi lebih jelas mengenai alternatif penyelesaiannya.
Berbicara dengan suara keras ke diri sendiri jarang dilakukan. Mungkin lebih sering terjadi ketika kita tertekan, tegang, kacau, singkatnya berpikiran penuh, seperti ada pergolakan di batin yang menuntut untuk dikeluarkan. Bayangkan panci berisi air mendidih yang tutupnya bergerak-gerak kencang, bahkan mungkin dapat terlempar karena tekanan kuat dari bawah. Jelas di sini, bicara menjadi cara penyaluran emosi.
Jadi, berbicara kepada diri sendiri bisa merupakan hal sangat normal, dapat pula merefleksikan persoalan psikologis yang memerlukan perhatian serius. Kita sendiri yang dapat menetapkan, apakah yang terjadi pada kita merupakan hal wajar saja, atau sudah berlebihan sehingga mengindikasikan kekacauan batin yang memerlukan bantuan ahli untuk mengatasi?
Ketika dalam keadaan sangat tertekan dan tegang, percakapan batin mungkin keluar dalam bentuk bicara sendiri, yang bila berlebihan akan membuat takut diri sendiri dan orang lain. Bila itu halnya, kita perlu menenangkan diri, merenung (mungkin dengan bantuan orang lain juga) untuk lebih mengerti sumber ketegangan dan kekacauan pikiran kita. Menenangkan diri dapat dilakukan, misalnya, dengan cara olah napas, meditasi, dan mengembangkan visualisasi yang menenangkan batin.
Sejauh pengetahuan saya, tidak ada istilah akonsius dalam psikologi. Sayang informasi dari D kurang lengkap. Apakah kebiasaan muncul setelah kuliah dan sebelumnya sama sekali tidak pernah terjadi? Ingatkah mulai muncul kapan dan adakah pencetusnya? Pada saat-saat apa saja lebih banyak bicara pada diri sendiri? Tentang apa? Apa yang dimaksud dengan ”mempraktikkan yang ada di pikiran secara langsung dalam tindakan?” Sejauh mana kebiasaan ini mengganggu orang lain? Sejauh mana mengganggu diri sendiri?
Positif
Aktivitas itu akan menjadi gangguan psikologi bila manusia bicara sendiri sebagai respons terhadap halusinasi atau delusi. Halusinasi adalah gangguan persepsi dalam bentuk (merasa) melihat atau mendengar tanpa ada rangsang nyata, misalnya kita mendengar suara-suara berisik, orang menertawakan orang lain, atau melihat figur tertentu yang orang lain tidak mendengar atau melihatnya.
Delusi secara sederhana dapat diartikan sebagai adanya keyakinan kuat tentang suatu hal akibat penilaian realitas yang salah. Misalnya kita yakin sedang dikejar-kejar dan akan dibunuh, atau sebaliknya, ada seorang aktor sangat hebat (yang sebenarnya tidak mengenal kita) yang jatuh cinta kepada kita. Bila demikian halnya, kita harus meminta bantuan psikolog klinis dan psikiater untuk memfasilitasi penenangan batin dan pengobatan.
Bila kita menilai diri atau dunia secara negatif, kita akan bicara dalam bahasa atau kalimat negatif (”aku selalu gagal”, ”aku tidak dicintai” atau ”dunia ini buruk”, ”tidak ada yang diharapkan lagi”, ”yang jahat harus dibasmi”). Sementara itu, penilaian diri positif akan mengembangkan percakapan diri yang juga positif.
Karena sebenarnya manusia selalu bicara dengan dan kepada diri sendiri, kita perlu mengolah fenomena ini secara konstruktif demi kesejahteraan psikologis kita. Penanganan psikologi cukup sering menganjurkan kita mengembangkan self-talk yang positif untuk mengubah pikiran negatif, memotivasi diri, mengembangkan gambaran diri atau dunia yang lebih baik, mendorong gerak konstruktif melakukan sesuatu. Self-talk positif menjadi bentuk afirmasi, kalimat berulang yang kita sampaikan kepada diri sendiri untuk menguatkan diri.
Kita mengubah dari negatif menjadi positif, misalnya dari ”aku selalu gagal” menjadi ”aku sedang menyelesaikan tugasku secara bertahap”; dari ”aku tidak dicintai” menjadi ”aku menyayangi diriku sendiri dan sedang membuat diriku menjadi lebih baik”; dari ”dunia ini buruk” menjadi ”memang banyak sekali masalah sekarang ini tapi aku masih bisa melakukan hal-hal positif di lingkungan terdekatku sendiri”.
Ada hubungan saling memengaruhi antara pikiran, perasaan dan perilaku, dan kita dapat memulai dari mana saja untuk mengembangkan kondisi diri yang lebih positif. Bicara secara positif kepada diri sendiri menjadi salah satu cara untuk membuat diri menjadi lebih bahagia.
sumber kompas.com
No comments:
Post a Comment