Minum susu setelah olahraga latihan beban ternyata lebih efektif untuk membentuk otot sekaligus membakar lemak dibandingkan dengan mengonsumsi minuman berenergi yang mengandung gula.
Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Medicine and Science in Sport and Exercise. Berbagai studi sebelumnya menunjukkan, pria yang minum susu setelah berolahraga massa ototnya meningkat dan lemaknya berkurang.
Untuk mengetahui apakah hal yang sama juga terjadi pada wanita, tim peneliti melakukan riset selama tiga bulan yang sebelumnya tidak pernah melakukan latihan resistan. Dua jam sebelum olahraga, mereka tidak boleh makan dan hanya boleh minum air putih.
Setelah latihan berjalan rutin, para responden dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, yang minum 500 miligram susu putih tanpa lemak dan kedua adalah mereka yang mendapat minuman energi berbasis gula.
Latihan resistance atau latihan yang dilakukan dengan melawan suatu gaya tertentu mungkin bukan jenis latihan yang disukai kaum wanita, tetapi manfaat dari latihan jenis ini sangat banyak.
"Latihan ini meningkatkan kekuatan tulang, otot, dan metabolik dengan cara yang tidak bisa dilakukan olahraga jenis lain," kata Stuart M Philips, PhD, ahli kinesiologi dari Kanada.
"Tadinya kami hanya menduga akan terjadi kenaikan massa otot yang lebih besar, ternyata pengurangan lemak tubuhnya juga tinggi. Hal ini mengejutkan," kata Philips.
Ia menambahkan, para ahli belum mengetahui penyebabnya, tetapi diduga kombinasi dari kalsium, protein tinggi, dan vitamin D, yang terdapat dalam susu menjadi penyebabnya.
Para wanita yang minum susu lebih sedikit yang mengalami kenaikan berat badan karena kenaikan massa otot seimbang dengan pengurangan lemak tubuhnya.
Tuesday, June 1, 2010
4 Alasan Kita Hobi Ngemil Malam
Mungkin kita mengira kebiasaan ngemil di malam hari selama ini dikarenakan rasa lapar yang tiba-tiba muncul. Padahal, bisa jadi ada faktor tertentu yang sebenarnya membuat kita seperti “ketagihan” untuk selalu mengunyah di saat menjelang waktu tidur.
1. Malas Sarapan Banyak wanita mengaku malas sarapan karena tak terbiasa. Padahal, tindakan ini justru bisa menggagalkan upaya penurunan berat badan yang tengah dilakukan. Marci Gluck, PhD., psikolog klinis dari the National Institute of Health mengatakan, dorongan untuk ngemil setelah makan di malam hari biasanya dirasakan oleh mereka yang asupan makan pagi dan makan siangnya sedikit. Akibatnya, sistem pertahanan tubuh terhadap rasa lapar pun mudah runtuh dan kita cenderung makan lebih banyak di sore dan malam hari.
Selain itu, studi yang dilakukan di Finlandia mendapati bahwa mereka yang tak terbiasa sarapan cenderung lebih sering merokok. Mereka juga lebih banyak mengonsumsi minuman beralkohol, dan lebih malas berolahraga. Tak heran bila kelompok ini punya berat badan lebih tinggi dibanding mereka yang rutin makan pagi.
2. Lelah Mental Penelitian yang dilakukan pada 2007 di Australia menunjukkan adanya hubungan signifikan antara stres mental dengan kebiasaan mengudap makanan ringan di malam hari. Hal ini terutama pada kaum wanita.
Menurut riset itu, kita cenderung mengatasi rasa gelisah, depresi, dan stres, dengan mengonsumsi makanan yang tinggi lemak dan gula. Padahal, saat stres muncul, produksi hormon kortisol di tubuh meningkat. Hormon ini turut berperan dalam menimbulkan penimbunan lemak di perut, serta memicu keinginan untuk ngemil yang sulit ditahan.
3. Sudah Terbiasa Ngemil Pada dasarnya, sistem tubuh bekerja sesuai dengan pola atau kebiasaan yang kita bentuk. Jika selama ini kita terbiasa ngemil setiap jam 9 malam, tubuh akan otomatis “meminta” untuk diisi makanan pada waktu tersebut, setiap hari. Ini tetap terjadi meski di saat itu tubuh seharusnya beristirahat dan berhenti “bekerja”.
Akibatnya, makanan jadi sulit dicerna karena tubuh sudah berada dalam kondisi istirahat. Selanjutnya terjadi penumpukan lemak dan kalori di tubuh kita. Jika keadaan ini dibiasakan dalam waktu lama – secara sadar ataupun tidak – maka kita berpotensi mengalami obesitas. Demikian dijelaskan oleh Kathleen Zelman, MPH, RD, LD, ahli nutrisi dan juru bicara dari American Dietetic Association.
4. Terkena Night Eating Syndrome (NES) NES adalah gejala kelainan pola makan yang dikemukakan pertama kali oleh Dr. Albert Stunkard, MD, dari University of Pennsylvania, pada 1995. Ia melakukan penelitian terhadap 25 pasien obesitas, sebanyak 90% di antaranya adalah perempuan.
Sekitar 64% partisipan studi mengalami 3 gejala kelainan makan, yaitu meningkatnya nafsu makan di malam hari, sulit tidur, dan tidak nafsu makan pada pagi hari. Di Amerika, gejala ini menyerang hampir 6 juta penduduk. Di Indonesia, menurut Dr. Tjandraningrum, belum ada data pasti mengenai angka kejadiannya.
Sementara itu, studi di Norwegia juga menunjukkan bahwa penderita NES umumnya mengalami penurunan kadar beberapa jenis hormon dalam tubuhnya pada malam hari. Di antaranya adalah melatonin dan leptin. Penurunan ini membuat si penderita selalu terjaga di malam hari, sehingga mudah merasa lapar.
1. Malas Sarapan Banyak wanita mengaku malas sarapan karena tak terbiasa. Padahal, tindakan ini justru bisa menggagalkan upaya penurunan berat badan yang tengah dilakukan. Marci Gluck, PhD., psikolog klinis dari the National Institute of Health mengatakan, dorongan untuk ngemil setelah makan di malam hari biasanya dirasakan oleh mereka yang asupan makan pagi dan makan siangnya sedikit. Akibatnya, sistem pertahanan tubuh terhadap rasa lapar pun mudah runtuh dan kita cenderung makan lebih banyak di sore dan malam hari.
Selain itu, studi yang dilakukan di Finlandia mendapati bahwa mereka yang tak terbiasa sarapan cenderung lebih sering merokok. Mereka juga lebih banyak mengonsumsi minuman beralkohol, dan lebih malas berolahraga. Tak heran bila kelompok ini punya berat badan lebih tinggi dibanding mereka yang rutin makan pagi.
2. Lelah Mental Penelitian yang dilakukan pada 2007 di Australia menunjukkan adanya hubungan signifikan antara stres mental dengan kebiasaan mengudap makanan ringan di malam hari. Hal ini terutama pada kaum wanita.
Menurut riset itu, kita cenderung mengatasi rasa gelisah, depresi, dan stres, dengan mengonsumsi makanan yang tinggi lemak dan gula. Padahal, saat stres muncul, produksi hormon kortisol di tubuh meningkat. Hormon ini turut berperan dalam menimbulkan penimbunan lemak di perut, serta memicu keinginan untuk ngemil yang sulit ditahan.
3. Sudah Terbiasa Ngemil Pada dasarnya, sistem tubuh bekerja sesuai dengan pola atau kebiasaan yang kita bentuk. Jika selama ini kita terbiasa ngemil setiap jam 9 malam, tubuh akan otomatis “meminta” untuk diisi makanan pada waktu tersebut, setiap hari. Ini tetap terjadi meski di saat itu tubuh seharusnya beristirahat dan berhenti “bekerja”.
Akibatnya, makanan jadi sulit dicerna karena tubuh sudah berada dalam kondisi istirahat. Selanjutnya terjadi penumpukan lemak dan kalori di tubuh kita. Jika keadaan ini dibiasakan dalam waktu lama – secara sadar ataupun tidak – maka kita berpotensi mengalami obesitas. Demikian dijelaskan oleh Kathleen Zelman, MPH, RD, LD, ahli nutrisi dan juru bicara dari American Dietetic Association.
4. Terkena Night Eating Syndrome (NES) NES adalah gejala kelainan pola makan yang dikemukakan pertama kali oleh Dr. Albert Stunkard, MD, dari University of Pennsylvania, pada 1995. Ia melakukan penelitian terhadap 25 pasien obesitas, sebanyak 90% di antaranya adalah perempuan.
Sekitar 64% partisipan studi mengalami 3 gejala kelainan makan, yaitu meningkatnya nafsu makan di malam hari, sulit tidur, dan tidak nafsu makan pada pagi hari. Di Amerika, gejala ini menyerang hampir 6 juta penduduk. Di Indonesia, menurut Dr. Tjandraningrum, belum ada data pasti mengenai angka kejadiannya.
Sementara itu, studi di Norwegia juga menunjukkan bahwa penderita NES umumnya mengalami penurunan kadar beberapa jenis hormon dalam tubuhnya pada malam hari. Di antaranya adalah melatonin dan leptin. Penurunan ini membuat si penderita selalu terjaga di malam hari, sehingga mudah merasa lapar.
Subscribe to:
Posts (Atom)